Katrin Bandel

Sastra, Perempuan, Seks

Essaysammlung

166 Seiten
ISBN: 979-3684-53-4
Verlag: Jalasutra
Yogyakarta 2006

11 Essays

Einleitung (Indonesisch):


Sastra, perempuan, seks


Dalam dunia sastra di Indonesia saat ini, "perempuan" dan "seks" merupakan dua isu yang sangat penting: "perempuan" terutama dalam arti "pengarang perempuan", dan "seks" sebagai tema karya sastra yang sedang nge-trend. Sampai-sampai sering terdengar sindiran seperti "asal pengarangnya perempuan, apalagi perempuan muda dan cantik, pasti diterbitkan", atau "asal berbau seks, apalagi pengarangnya perempuan, pasti laku".
Sindiran semacam itu dapat saja kita anggap sekadar sebagai ekspresi iri hati terhadap sukses orang lain. Tapi menurut pandangan saya, tidak ada salahnya kita menanggapinya dengan sedikit lebih serius - jangan-jangan memang betul ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia sastra Indonesia! Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra maupun jumlah buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan serupa itu?
Berbagai macam klaim muncul seputar para "pengarang perempuan baru" itu: tulisan mereka hebat, mereka menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak tabu (terutama seputar seks - dan hal itu sering dipahami sebagai semacam "pembebasan perempuan", atau bahkan sebagai "feminisme"). Yang ingin saya lakukan dalam esei-esei di buku ini antara lain adalah mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurut pandangan saya, kehebohan seputar beberapa penulis perempuan sangat berlebihan. Secara paling mencolok hal itu terlihat pada reaksi terhadap karya dua Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Novel Saman karya Ayu Utami (1998) menjadi titik awal trend sensasi seputar pengarang perempuan yang berlangsung sampai sekarang. Saman, dengan kalimat akhirnya "Perkosalah aku" yang provokatif itu, menjadi buah bibir terutama karena "pendobrakan" dan "keterbukaan"nya dalam hal seksualitas. Karya Djenar pun dibicarakan terutama karena "berbau seks". Saya ragu apakah cara membicarakan seksualitas dengan menantang dan penuh sensasi yang kita temukan dalam karya kedua pengarang itu dan beberapa rekannya, memang tepat disebut "pendobrakan tabu" atau bahkan "pembebasan perempuan". Seksualitas merupakan isu penting yang dibicarakan dengan berbagai cara dalam banyak karya sastra di Indonesia maupun di negeri lain - mengapa yang diekspos dan dirayakan di Indonesia justru versi sensasi ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu?
Sensasi seputar perempuan dan seks itu menurut pengamatan saya memiliki efek yang merugikan bagi dunia sastra Indonesia. Di antara karya sastra yang terbit beberapa tahun belakangan ini, cukup banyak karya menarik yang kurang atau tidak mendapat sambutan dan penghargaan, sedang karya lain yang - paling tidak menurut penilaian saya - biasa-biasa saja malah diangkat-angkat karena sesuai dengan trend. Yang sangat saya sesalkan adalah betapa banyak di antara mereka yang memiliki pengaruh dan kekuasaan dalam dunia sastra Indonesia - organisasi dan institusi sastra, serta para pengamat dan kritikus - bukannya mencoba untuk melawan kecenderungan mencari sensasi tersebut, melainkan justru memilih berpartisipasi dalam penciptaan mitos dan penilaian yang tidak adil.
Banyak di antara esei dalam buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu. Esei tentang Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan misalnya, saya tulis sebagai reaksi atas sebuah kritik novel itu yang menurut pandangan saya sangat tidak adil dan tidak tepat, ditulis oleh seorang pengamat sastra yang cukup terpandang. Keinginan untuk memahami kondisi sastra Indonesia beserta politik sastranya, sekaligus mengkritik berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi di situ, mendasari esei-esei dalam buku ini.
Seperti lazimnya sebuah kumpulan esei, kesebelas esei dalam kumpulan ini awalnya merupakan esei lepas yang sebagian besar sudah pernah diterbitkan di berbagai media. Mencari judul untuk kumpulan tulisan semacam ini tidak mudah: begitu banyak isu yang berbeda-beda dibahas, bagaimana cara menentukan judul yang cukup representatif? "Sastra, Perempuan, Seks" tidak saya maksudkan sebagai semacam rangkuman isi tulisan dalam buku ini. Kesebelasnya berbicara tentang sastra, tapi banyak isu lain di luar seks dan perempuan yang saya bahas. Namun sebagai isu hangat yang sedang dihebohkan dalam dunia sastra Indonesia, "perempuan dan seks" cukup mewakili apa yang ingin saya bicarakan dalam dengan buku ini, yaitu politik sastra Indonesia yang penuh sensasi dan ketidakadilan.
Karya dua pengarang perempuan yang sangat dihebohkan, Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, saya kritik dalam esei "Vagina yang Haus Sperma" dan "Nayla". Dalam esei tentang Ayu Utami, secara khusus saya membahas isu seksualitas, dan isu yang sama saya angkat juga dalam esei "Lelaki Harimau" - novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan tidak sesensasional karya Ayu Utami dalam menggambarkan seksualitas, tapi menurut pandangan saya lebih matang dan mendalam. Esei "Religiusitas Dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia" masih berbicara tentang pengarang perempuan, namun tema yang saya bahas bukan seksualitas, melainkan religiusitas. Ternyata seksualitas bukan satu-satunya isu yang dipentingkan oleh pengarang perempuan - tekanan pada isu itu hanyalah stereotipe hasil politik sastra yang berpusat pada sensasi. Pada saat pengarang perempuan dituduh telah sama sekali meninggalkan moral dan agama, ternyata di antara mereka ada yang justru mendalami agama dan mencari bentuk spiritualitas yang sesuai dengan zaman kini.
"Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh" pun berbicara tentang perempuan, meskipun bukan tentang perempuan sebagai pengarang, melainkan sebagai tokoh. Esei itu mungkin tampak hampir tidak ada hubungannya dengan isu "perempuan dan seks" di atas. Namun sesungguhnya tidak demikian: Cerita nyai, dengan "Tjerita Njai Dasima" sebagai salah satu contohnya, merupakan "cerita porno"nya zaman kolonial, dan karena itu dapat disebut semacam "pendahulu" karya ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Tapi dalam apropriasi tokoh nyai yang dilakukan oleh Pramoedya dalam tetraloginya, bukan isu seks yang diutamakan, melainkan isu pascakolonialitas. Pascakolonialitas dalam hubungannya dengan persoalan gender dan pengalaman perempuan juga dipersoalkan dalam novel Disgrace karya pengarang Afrika Selatan JM Coetzee. Sayang sekali pengarang perempuan Indonesia tampaknya selama ini kurang berminat pada persoalan pascakolonialitas - situasi khusus negara pascakolonial seperti Indonesia dengan budayanya yang hibrid jarang diberi perhatian. Pascakolonialitas juga saya bicarakan dalam esei "Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia" dan "Tetapi Kutukanku Akan Terus Berjalan".
Dalam esei "Incest" saya membahas sebuah novel yang, karena kritiknya terhadap beberapa persoalan budaya lokal, menyinggung warga di desa asal pengarang di pedalaman Bali, sehingga pengarangnya harus menerima hukuman adat yang cukup berat, yaitu dikeluarkan dari desa adat untuk 5 tahun. Kalau dihubungkan dengan sensasi seputar pengarang perempuan yang terjadi terutama di Jakarta, terlihat kontras yang cukup menarik: "Keberanian" pengarang perempuan dalam "mendobrak tabu" seputar seks dirayakan seakan-akan hal itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, padahal tidak ada represi yang berarti terhadap mereka. Pada waktu yang sama, seorang pengarang di daerah menghadapi represi yang cukup serius, namun tidak ada yang menhiraukannya.
Salah satu aspek politik sastra Indonesia yang lain saya bicarakan dalam esei "Sastra Koran di Indonesia", yaitu peran luar biasa yang diberikan kepada koran sebagai sarana publikasi. Debat seputar "sastra koran" sempat hangat terutama setelah koran tersaingi oleh media baru, yaitu internet. Meskipun koran - dan redaktur koran - tetap memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia sastra Indonesia, internet telah membuka peluang untuk sosialisasi karya dan pertukaran pendapat yang lebih luas dan demokratis. Internet juga menawarkan berbagai cara baru dalam berkarya atau menanggapi karya, yang salah satunya saya bahas dalam esei "Karya Sastra Sebagai Taman Bermain".

Selamat membaca!